Pemerintah meresmikan Program Nasional Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) pada 1 September tahun lalu melalui program nasional Penurunan Emisi dari Deforestasi (Penggundulan Hutan) dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (REDD+).
Program REDD+ di Indonesia memahami bahwa keadilan sosial adalah kunci keberhasilan untuk mengatasi perubahan iklim. Pengakuan atas hak tanah adat bersama milik masyarakat pribumi memberikan mereka aset dasar yang sangat penting yaitu tanah, yang dapat mendukung kepentingan pengentasan kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Hal ini penting untuk melindungi hutan kita beserta keanekaragaman hayatinya yang tentu saja hal tersebut penting untuk masa depan kita. Masyarakat adat di seluruh penjuru dunia ingin membuktikan bahwa mereka mampu menjadi pengelola pelestarian hutan, namun pada kenyataannya area hutan tersebut berangsur-angsur menyusut. Pada saat pertanian, penebangan, pertambangan, serta tekanan lainnya telah menantang kemampuan mereka dalam pengelolaan pelestarian hutan tempat mereka bergantung, justru PPMHA nampaknya ingin memutarbalikan kecenderungan tersebut.
Salah satu langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperjelas wilayah adat dan hak-hak kepemilikan wilayah tersebut. Yang kedua adalah memperkuat sumber daya lokal untuk pembangunan penghijauan serta penyediaan makanan yang dapat memberikan kesempatan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sekitar. Hal-hal tersebut memungkinkan pengelolaan pelestarian hutan yang sekaligus menunjang peningkatan pendapatan rumah tangga.
Ketidakjelasan kepemilikan lahan dan hak menimbulkan salah satu tantangan pembangunan dan konservasi terbesar di Indonesia. Kebakaran musiman, kerawanan pangan, dan kesulitan yang tak henti-hentinya dalam mengamankan lahan untuk pembangunan infrastruktur hanyalah sebagian contoh kecil.
Hal-hal tersebut disebabkan olehburuknya koordinasi hukum pertanahan di Indonesia. Agenda yang dicanangkan REDD+ dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut adalah melalui program One Map Initiative.
Bagian lain adalah warisan dari masa lalu yang sangat tidak adil di manahal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 tentang pengelolaan hutan negara yang menghasilkan keuntungan jangka pendek tetapi eksploitasinya tidak bersifat melestarikan. Ini artinya mengeruk keuntungan yang sangat besar, tetapi mengorbankan 30.000 desa dimana lebih dari sepertiganya menggantungkan langsung pada hutan yang sehat, lahan basah, dan ekosistem untuk kesejahteraan mereka.
Pada tanggal 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi Indonesia mengeluarkan putusan yang mengkoreksi kekeliruan sejarah tersebut dengan mengembalikan hak atas hutan adat kepada masyarakat adat. PPMHA memang dirancang untuk merumuskan putusan tersebut menjadi kenyataan.
Masyarakat adat telah menjadi bagian pentingpembicaraan dan upaya untuk menemukan solusi yang adil bagi transmigran.
Saat kita mendekati ulang tahun yang kedua dari hasil putusan tersebut, banyak pekerjaan penting dalam hal penerapan perubahan yang harus diselesaikan.
Tetapi tetap tidak ada jalur resmi yang jelas untuk menggambarkan dan mendaftarkan klaim tanah adat kolektif. Badan Nasional REDD+ beserta mitranya bekerja untuk memperbaiki hal tersebut. Masyarakat perintis, kabupaten dan provinsi sedang merintis pengakuan resmi dari adat (hak kepemilikan adat) di tujuh provinsi di seluruh nusantara.
Itu semua termasuk dengan upaya untuk melakukan pemetaan hak-hak kepemilikan masyarakat Punan di Malinau, Kalimantan Utara. Pemerintah daerah seperti Jayapura di Papua telah memanfaatkan anggaran mereka sendiri untuk pemetaan masyarakat.
Pemerintah provinsi seperti juga di Jambi bekerja untuk mendapatkan pengakuan dari seluruh masyarakat adat serta sekaligus juga menyarankan pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan kerja Pemetaan Partisipatif Nasional (JKPP) dan masih banyak orang-orang yang bekerja tanpa lelah untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu kendala yang tersisa yaitu pada bagaimana peta masyarakat adat dapat diakomodasi di bawah kendali sistem pemerintahan untuk mengizinkan dan memperkuat klaim lahan kolektif. Sebagai solusi sementara, Badan REDD+ Nasional akan berfungsi sebagai pemelihara data yang ada. Badan ini menyambut baik klarifikasi lanjutan dari peran kelembagaan untuk finalisasi semua bidang yang terkait dengan PPMHA.
Pada tingkat makro, mengakui adat dan memperkuat keadilan sosial juga akan membangkitkan perekonomian. Ketidakjelasan atas hak tanah dan konflik kepemilikan tanah (tenurial) akan menghambat efesiensi pembangunan infrastruktur penting bagi negara.
Kasus dari seluruh ASEAN, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa klarifikasi kepemilikan lahan mengurangi konflik, risiko dan kerugian terkait. Selain itu, petani di Indonesia, yang mewakili sekitar 17 juta orang, tetap menjadi konstituen utama untuk meningkatkan hasil dan produktivitas dalam memproduksi tanaman bernilai tambah yang lebih tinggi. Ini adalah perbandingan keuntungan yang telah dirasakan oleh negara tetangga kita di Malaysia dan Thailand.
Ketika kita bekerja bagi pengakuan adat (hukum adat) wilayah dan mengembangkan mekanisme sertifikasi tanah kolektif, kita harus memastikan ketidakadilan yang tersembunyi tidak mengakar serta pemberdayaan masyarakat tidak boleh beralih menjadi beban marjinalisasi.
Artinya perlu penguatan peran penting perempuan atas akses mereka terhadap tanah dan sumber daya alam dalam pengelolaan lahan umum (komunal). Dengan kata lain masyarakat adat yang berdayalah yang akan menjadi pencari solusi dalam berbagai pemenuhan hak-hak dan juga tanggung jawab atas pemenuhan hak-hak tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat adat telah dan terus menjadi bagian penting dari pembicaraan dan upaya untuk menemukan solusi yang adil untuk transmigran dan masyarakat lokal lainnya.
Memang benar bahwa kita akan terus menghadapi pilihan-pilihan sulit di depan kita dalam mewujudkan Indonesia yang telah digambarkan di dalam UUD 1945 yaitu: “Indonesia yang adil dan makmur”. Dimana orang-orang sederajat di mata hukum, bersatu sepertihalnya berkomitmen untuk melindungi kenyataan bahwa kita memiliki keragaman dan perbedaan yang tercermin dalam bahasa, lingkungan dimana kita hidup dan cara kita beribadat.
Tetapi semakin meningkatnya kekuatan demokrasi, kemampuan kita mewujudkan hal-hal yang telah dijanjikan ke dalam realitas kehidupan tergantung pada pengetahuan kita dimana setiap pencapaian akan menguntungkan kita semua.
Secara paralel, dunia bergerak dari tujuan pembangunan di era milenium menjadi melanjutkan agenda pasca 2015. Pekerjaan Indonesia sedang disorot oleh pentas internasional.
Agenda hak asasi manusia dan keadilan sosial muncul ke permukaan pada negosiasi iklim global tahun ini yaitu di dalam Konferensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), Konferensi Para Pihak 20 (COP 20) di Lima, Peru. Program REDD+ berkomitmen untuk membantu memastikan bahwa Indonesia terus memberikan contoh nyata dari pembangunan yang berkelanjutan dan adil bagi dunia.
Dilansir dari tulisan di The Jakarta Post