Insight

Read More
Institut-Deliverologi-Indonesia

Makna COVID-19 untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia

COVID-19 sudah mengubah seluruh aspek kehidupan kita, baik secara ekonomi, sosial, begitu halnya pendidikan.  Seiring dengan diterbitkannya pula Surat Edaran (SE) No.4 tahun 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19, proses pembelajaran dilakukan dari rumah (Belajar Dari Rumah / BDR) secara daring maupun luring.

Hasil survei Mei-Juni 2020 secara daring oleh Kemendikbud dan kerjasama dengan UNICEF, dari 3,4% peserta didik yang tidak dapat mengikuti BDR (masih belajar penuh di sekolah atau belajar bergantian sekolah-rumah) memang berada di wilayah 3T dan tidak terdampak COVID-19.  Selebihnya, 96,6% peserta didik dapat mengikuti sistem pembelajaran BDR.  Saat ini belum ada penelitian yang secara tepat dapat menggambarkan tingkat efektivitas BDR ini.  Tapi dari persoalan yang naik ke permukaan, seperti koneksi internet yang buruk, bahkan belum adanya akses listrik, meski wilayahnya bukan termasuk 3T; tidak semua peserta didik/keluarganya memiliki perangkat, baik HP atau TV/Radio; biaya-biaya yang menjadi beban seperti kuota internet/pulsa; kesulitan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), dialami tidak hanya oleh guru dan siswa, tapi juga orang tua;  sarana/prasarana sekolah yang tidak siap terhadap pandemi, dsb.  Namun demikian, persoalan-persoalan tersebut sebenarnya dapat menjadi efek domino yang mungkin bisa jadi hal yang baik untuk pendidikan Indonesia nantinya.  Seperti di antaranya, peningkatan akses belajar mengajar; anggaran pendidikan; peran orang tua, masyarakat, serta penyederhanaan kurikulum; dan target sarana sanitasi dalam SDGs.

Hasil PISA 2018 menggambarkan kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah di Indonesia.  Jakarta dan Yogyakarta mempunyai kualitas relatif lebih baik dibanding dengan daerah lainnya seperti terlihat pada Tabel 1.  Akses terhadap materi belajar mengajar sesuai praktik baik menjadi salah satu kendala dalam pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.  Dengan adanya pandemi, pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur internet di seluruh Indonesia.  Hal ini nantinya bisa menjadi batu loncatan untuk daerah-daerah yang kesulitan akses praktek pembelajaran yang baik, baik itu dari akses pelatihan guru, materi ajar, dll.

Selama ini, 63% anggaran Pendidikan di Indonesia disalurkan melalui pemerintah daerah.  Kemendikbud awal tahun 2020 melakukan terobosan dengan menyalurkan BOS langsung ke sekolah, hal ini terbukti membantu sekolah lebih cepat beradaptasi ketika kebutuhan sekolah harus berubah, seperti untuk membeli kuota internet di saat pandemi. Selanjutnya apakah mungkin selain BOS, anggaran pendidikan lain seperti DAK Fisik dan DAU disalurkan langsung ke sekolah untuk keefektifan penggunaan anggaran.

Kurikulum 2013 menyiratkan pentingnya peran orang tua dalam proses pembelajaran anak.  Sejak diterapkannya kurikulum tersebut hingga saat ini, upaya untuk melibatkan peran orang tua masih menjadi pekerjaan rumah semua pihak. Bisa jadi sebenarnya masa pandemi ini merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk menegaskan kembali pentingnya meninjau kembali konstruksi kurikulum yang berlaku saat ini, dengan tetap mengupayakan peran aktif orang tua dan masyarakat.

Setelah BDR, pemerintah mulai membuka sekolah di beberapa zona hijau dan kuning COVID-19. Salah satu persyaratan pembukaan sekolah adalah adanya sanitasi yang layak. Sanitasi merupakan target SDGs (Sustainable Development Goals) yang laju pemenuhannya lambat dari tahun ke tahun. Dengan adanya pandemi, seharusnya menjadi momentum pemerintah untuk mendorong pencapaian target SDGs lebih cepat melalui kegiatan pemerintah sendiri maupun peran swasta dan masyarakat untuk berperan dalam penyediaan fasilitas sanitasi di sekolah.

Walaupun Covid-19 memberikan akibat buruk yang luar biasa, akan tetapi ada hikmah bagi akselerasi sebagian komponen pendidikan seperti peningkatan akses belajar daring bagi guru dan siswa, penggunaan anggaran yang lebih efektif, peningkatan peran orang tua dan masyarakat, penyederhanaan kurikulum, serta peningkatan fasilitas sanitasi di sekolah.

Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang tulisan ini, silakan menghubungi IDeA untuk kesempatan memperoleh konten yang lebih lengkap atau menjadwalkan diskusi terkait topik tersebut. Permintaan konten/diskusi akan ditinjau satu per satu.

Read More
Institut-Deliverologi-Indonesia

Pembangunan Rendah Karbon Di Sektor Kelautan Dan Perikanan – Sebuah Refleksi Perjalanan Dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Yang Berkelanjutan

Pentingnya sebuah proses pembangunan yang berkelanjutan telah lama disadari oleh negara-negara di dunia. Puluhan tahun telah berlalu, namun komitmen tersebut baru terwujud pada bulan September tahun 2000 melalui Millennium Development Goals (MDGs). MDGs memuat komitmen dari 191 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengusung 8 (delapan) tujuan pembangunan. Salah satu dari tujuan tersebut adalah memastikan keberlanjutan lingkungan. Selama kurun waktu 15 tahun, seluruh negara tersebut berlomba-lomba untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut melalui serangkaian kebijakan dan strategi pembangunan nasional yang mereka rancang. Hasilnya pun beragam, tidak semua negara berhasil mencapainya. Namun, pencapaian beberapa negara pada tujuan pembangunan tertentu lebih baik dari negara lainnya. Kendalanya, MDGs terlalu high level, terlalu umum, dan tanpa tolok ukur yang jelas untuk menentukan keberhasilan dan kegagalannya.

Tidak berapa lama usai berakhirnya MDGs di tahun 2015, gagasan mengenai pentingnya pembangunan yang berkelanjutan tidak lantas memudar. Sebaliknya, semangat tersebut menguat seiring dengan lahirnya Sustainable Development Goals (SDGs) pada bulan September tahun 2015 dan berlaku efektif pada bulan Januari tahun 2016. SDGs memiliki 17 tujuan pembangunan beserta turunannya yang lebih spesifik sehingga dianggap lebih relevan dengan berbagai karakter dan tantangan pembangunan yang dihadapi oleh seluruh 193 negara anggota PBB yang mengadopsinya. Dengan demikian, setiap negara yang mengadopsinya akan lebih mudah menerjemahkannya ke dalam strategi dan kebijakan pembangunan nasional masing-masing mengingat kompleksitas dari tantangan pembangunan masa kini yang bersifat dinamis dan multidimensi sehingga perlu pendekatan lintas sektor dan lintas stakeholder dalam penyelesaiannya.

Salah satu poin penting dalam SDGs adalah terkait aksi perubahan iklim atau climate action. Pembangunan berkelanjutan harus selaras dengan upaya menurunkan laju perubahan iklim yang disepakati oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) melalui Kesepakatan Paris tahun 2016. Kesepakatan Paris bertujuan membatasi peningkatan suhu permukaan bumi di bawah
1.5°C melalui pengurangan emisi gas rumah kaca dan emisi karbon. Setiap negara didorong untuk menurunkan produksi emisi karbon sesuai yang disepakati dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDC) hingga tahun 2030 atau sejalan dengan masa waktu implementasi SDGs.

Indonesia tidak ketinggalan dalam merespons tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut yang dimulai sejak keluarnya Perpres Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GK). Kini, Indonesia berusaha untuk melangkah lebih jauh ke depan dalam mengintegrasikan SDGs dan butir-butir Kesepakatan Paris dengan mengadopsi Low Carbon Development Initiatives (LCDI), sebuah rencana pembangunan yang ambisius guna mencari keseimbangan antara kelestarian lingkungan dengan upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kemakmuran. Melalui Kerjasama dengan sejumlah mitra pembangunan di tingkat nasional dan internasional yang dikoordinasi oleh Kementerian PPN/Bappenas, Indonesia akan memproduksi Laporan LCDI, dokumen yang akan diintegrasikan ke dalam RPJMN 2020-2024 untuk menciptakan RPJMN “hijau” pertama dalam sejarah pembangunan Indonesia.

Institute Deliverologi Indonesia (IDeA) mendapat kehormatan untuk menjadi bagian dari sejarah tersebut. Melalui sebuah tim ad hoc, IDeA mengambil peran dalam penyusunan kajian studi tematik rendah karbon di bidang perikanan. Dengan mengedepankan pendekatan multistakeholder, IDeAmenggalang pandangan dari para stakeholder perikanan yang menjadi landasan penting pada proses perumusan kajian studi tersebut.

Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang tulisan ini, silakan menghubungi IDeA untuk kesempatan memperoleh konten yang lebih lengkap atau menjadwalkan diskusi terkait topik tersebut. Permintaan konten/diskusi akan ditinjau satu per satu.

Read More
Institut-Deliverologi-Indonesia

Inisiatif Satu Data di Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pada bulan April 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama enam Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya, ditunjuk oleh Kantor Staf Presiden sebagai pelaksana proyek percontohan dalam program nasional Satu Data Indonesia. Hal ini ditindaklanjuti dengan segera oleh KKP melalui peluncuran Satu Data KKP pada tanggal 30 Mei 2016 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. 

Satu Data berorientasi bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tiga prinsip utama Satu Data adalah (i) Satu Standar Data – semua Kementerian/Lembaga akan menggunakan Data Induk dan Definisi yang sama untuk obyek yang sama; (ii) Satu Meta Data Baku – setiap data yang ada akan mempunyai asal-usul dan keterangan yang jelas; dan (iii) Satu Portal Data –penginputan, penyampaian, dan diseminasi data kepada pemangku kepentingan melalui satu aplikasi berbasis elektronik atau biasanya disebut portal. 

Sebelum Program Nasional Satu Data Indonesia dicanangkan, terdapat banyak masalah mengenai data yang ditemukan di lapangan. Data jumlah nelayan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan KKP tidak pernah sama dikarenakan perbedaan definisi cara perhitungannya. Data wilayah seperti kecamatan dan kelurahan yang terdapat di Indonesia antara BPS, Kementerian Dalam Negeri, dan PT Pos Indonesia merujuk pada referensi yang berbeda. Kasus-kasus tersebut merupakan beberapa contoh mengenai kondisi di Indonesia yang sebenarnya tidak Satu Data. Perbedaaan data antar Kementerian/Lembaga ini tentu saja akan mempengaruhi pengambilan keputusan, dan pertanyaannya adalah bagaimana kualitas pengambilan keputusan tersebut dengan data yang tidak satu.

Inisiatif Satu Data bukan hanya sebuah program yang berfokus pada data umum yang ada di lapangan saja tetapi lebih daripada itu, Satu Data merupakan sebuah sistem yang dapat membantu terjadinya efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan suatu Kementerian/Lembaga. Salah satu contohnya adalah program Bantuan Pemerintah yang menyerap anggaran negara triliunan rupiah, awalnya sulit untuk menelusuri data penerima dan progress penyalurannya karena tersebar di masing-masing direktorat teknis penyedia Bantuan Pemerintah, tetapi dengan implementasi Satu Data, data-data tersebut dapat diperoleh dan dibagipakaikan antar direktorat. Anggaran pemakaian internet dan jaringan yang ada di masing-masing unit kerja menjadi lebih hemat bila kontrak dengan pihak ketiga disatukan di bawah Pusat Data Statistik dan Informasi (Pusdatin) KKP. Contoh-contoh sederhana tersebut hanya beberapa dari banyaknya manfaat yang dapat diperoleh ketika Satu Data diimplementasikan dengan benar. 

Satu Data diharapkan dapat membantu mengurangi silo mentality (keengganan bersinergi dan berkolaborasi lintas organisasi/unit) yang membuat koordinasi tidak berjalan dengan baik. Sebagai contoh, kebijakan yang seharusnya berkesinambungan dari hulu ke hilir bisnis kelautan dan perikanan menjadi tidak bisa terjadi apabila Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), yang bertanggung jawab terhadap produksi perikanan budidaya, dan Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (DJPDSPKP), yang bertanggung jawab terhadap pemasaran dan daya saing produk perikanan, membuat sistem informasi yang terpisah dan tidak menggunakan rujukan data yang sama. Bukan hanya antar Direktorat Jenderal, di dalam Direktorat Jenderal atau bahkan di dalam Unit Kerja yang sama, komunikasi dan koordinasi seringkali tidak terjadi dengan baik.

Oleh karena itu, inisiatif Satu Data penting dilakukan tidak hanya berkaitan dengan pengambilan kebijakan berdasarkan data yang akurat saja, akan tetapi, transparansi, efektifitas, dan sinergi antar Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja dapat tercapai. Satu Data bukan hanya saja mereformasi bagaimana data dikelola tetapi juga tentang reformasi tata kelola organisasi dan budaya kerja yang efektif.

Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang tulisan ini, silakan menghubungi IDeA untuk kesempatan memperoleh konten yang lebih lengkap atau menjadwalkan diskusi terkait topik tersebut. Permintaan konten/diskusi akan ditinjau satu per satu.

Read More
Institut-Deliverologi-Indonesia

Langkah-Langkah Fundamental Implementasi Satu Data di Tingkat Kementerian atau Lembaga

Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar instansi pusat dan daerah. Data disebut Satu Data jika memenuhi prinsip-prinsip:

  1. Data yang disusun berdasarkan prinsip standar data,
  2. Data yang dilengkapi dengan metadata yang baku,
  3. Data yang memenuhi prinsip interoperabilitas data,
  4. Data yang menggunakan Kode Referensi dan/atau Data Induk.

Saat ini, terdapat beberapa tantangan dalam hal pengelolaan data seperti:

  • Jenis data yang sama dapat memiliki struktur yang berbeda,
  • Data yang sama dikumpulkan dengan metode pengambilan dan pengolahan data yang berbeda,
  • Proses validasi data belum dilakukan secara konsisten,
  • Tingkat ketelusuran data masih rendah,
  • Basis data belum dilengkapi dengan fitur antarmuka pemrograman aplikasi,
  • Sistem Informasi dan Data Induk belum terkelola dengan baik.

Kebijakan Satu Data Indonesia dan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik adalah satu kesatuan yang saling mendukung dalam mendorong daya saing bangsa di era industrialisasi 4.0. Sistem berbasis elektronik sangat diperlukan dalam pengelolaan data agar data dapat disimpan, diolah, dibagipakai, dan dikomunikasikan oleh dan kepada seluruh pemangku kepentingan.

Berdasarkan pengalaman implementasi Satu Data yang melibatkan berbagai pihak seperti Kementerian/Lembaga, Instansi Pusat dan Daerah, dan masyarakat, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan:

  • Ruang lingkup data yang tidak jelas,
  • Tidak ada yang menguasai proses bisnis dari ke hulu ke hilir,
  • Perubahan atau rotasi jabatan,
  • Perubahan organisasi dan tim kegiatan/proyek,
  • Resistensi terhadap perubahan karena perbedaan kepentingan,
  • Jalur komunikasi (Manajemen Perubahan) dari level pimpinan ke bawahan belum optimal,
  • Kegiatan Satu Data dianggap kegiatan tambahan dan bukan sebagai bagian tugas fungsi,
  • Keterbatasan sumber daya manusia terutama untuk area seperti Technology Enablement, Manajemen Proyek, dan Project Improvement.

Demikianlah berbagai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi Satu Data yang berbasis teknologi informasi. Dengan ini diharapkan hal-hal di atas dapat dipelajari secara seksama dan diaplikasikan dalam usaha menjalankan Peraturan Presiden Satu Data yang juga berlandaskan Peraturan Presiden Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).

Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang tulisan ini, silakan menghubungi IDeA untuk kesempatan memperoleh konten yang lebih lengkap atau menjadwalkan diskusi terkait topik tersebut. Permintaan konten/diskusi akan ditinjau satu per satu.

Read More
Institut-Deliverologi-Indonesia

Menuju Revolusi Mental

Revolusi Mental merupakan gagasan Presiden Joko Widodo yang mengagungkan kembali gagasan Presiden Soekarno pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. “Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong”. Dalam konteks pemerintahan agar membangun perilaku berorientasi kemajuan dan hal modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Para pemimpin dan aparat negara menjadi pelopor untuk menggerakan revolusi mental, dimulai dari masing-masing Kementerian/Lembaga/Instansi (K/L/I). Sebagai pelopor gerakan Revolusi Mental, pemerintah lewat K/L/I harus melakukan diantaranya tetapi tidak terbatas pada: bersinergi, membangun manajemen isu, dan penguatan kapasitas aparat negara.

Tulisan ini disusun berdasarkan observasi pada saat melakukan kegiatan
transformasi di pemerintahan, khususnya di tingkat K/L/I baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam menjalankan kegiatan transformasi tersebut, ditemui beberapa tantangan dikarenakan perbedaan cara berpikir, perilaku, dan tata kelola yang belum efisien. Oleh karena itu, sesuai dengan arahan Presiden untuk melakukan Revolusi Mental tidak terkecuali terhadap seluruh K/L/I dan Aparatur Sipil Negara (ASN) bahwa seluruh aspek pemerintahan harus berintegritas, bersinergi, dan menguatkan kapasitas serta kapabilitas ASN, maka berikut adalah usulan perubahan utama yaitu: Tata kelola organisasi berbasis Kinerja,

Tata kelola organisasi berbasis Shared Services, dan

1. Tata kelola Perencanaan Terintegrasi.

2. Tata kelola organisasi berbasis Shared Services, dan

3. Tata kelola Perencanaan Terintegrasi.

Untuk menjadi organisasi berbasis Kinerja, berikut adalah dasar yang diusulkan yaitu perubahan dalam:

  • Penetapan Nilai Dasar dan Budaya K/L/I,
  • Rekrutmen dan Seleksi,
  • Pengembangan Kemampuan Pegawai,
  • Penilaian Kinerja Pegawai, dan
  • Pengembangan Karir.

Gambar 1 Pilar Organisasi Berbasis Kinerja

Agar Revolusi Mental menjadi kenyataan, transformasi tidak boleh berhenti di organisasi berbasis kinerja, tapi perlu dilanjutkan dengan perubahan organisasi berbasis shared services. Konsep shared services terutama untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat penunjang atau kegiatan-kegiatan back-office seperti:

  1. Teknologi Informasi (TI),
  2. Sumber Daya Manusia (SDM),
  3. Keuangan, dan
  4. Pengadaan

Diharapkan dengan perubahan tata kelola dengan menerapkan konsep shared services di lingkungan pemerintahan maka revolusi mental dalam arti sesungguhnya akan terjadi yaitu:

  • Minimalisasi silo mentality (keengganan untuk bekerja sama lintas instansi) 
  • Menerapkan dan memastikan standar best practice dipergunakan di setiap K/L/I
  • Meningkatkan sinergi antar K/L/I sehingga tercipta efisiensi dan pelayanan yang baik bagi masyarakat

Perencanaan memegang peranan sangat penting dalam pembangunan negara. Tanpa perencanaan yang baik seringkali terjadi hasil dari program/kegiatan pemerintah tidak tepat sasaran, menimbulkan kerugian, atau bahkan mangkrak. Untuk membuat perencanaan yang baik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebaiknya membuat sebuah perencanaan terintegrasi (integrated planning) didukung dengan kemampuan teknologi informasi.

Secara umum, perencanaan terintegrasi tergambar dari framework pada Gambar 2 yang komponen utamanya adalah Pemodelan Dinamis (Dynamic Modelling), Transparansi, dan Sinergi. 

Framework Perencanaan Terintegrasi

Perlu dibentuk Pemodelan Dinamis yang merupakan sebuah sistem pemodelan yang menggambarkan interaksi dan keterkaitan antar berbagai parameter, sasaran strategis, dan indikator kinerja. Apabila seluruh K/L/I telah mempunyai pemodelan dinamis, maka Bappenas selanjutnya menghubungkan keseluruhan parameter yang saling berkaitan antar seluruh K/L/I.

Transparansi perhitungan target-target dalam rencana strategis meningkatkan kolaborasi antara Bappenas dan K/L/I. Di saat bersamaan antar K/L/I dengan dibantu Bappenas, dapat berkomunikasi mengenai rencana-rencana strategis yang saling berkaitan. Integrasi Sistem Informasi/Aplikasi perencanaan diperlukan di seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. 

Sinergi. Perencanaan setiap kegiatan seringkali bukan hanya merupakan usaha suatu K/L/I melainkan usaha terpadu antar K/L/I. Bentuk awal dari Sinergi dapat berupa forum diskusi/komunikasi perencanaan lintas K/L/I yang dapat disebut sebagai Forum Perencanaan.

Perubahan lain yang perlu terjadi dalam tata kelola perencanaan adalah:

  • Perubahan pola pikir bahwa besarnya persentase realisasi Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) bukan sebagai indikator keberhasilan sebuah Kementerian/Lembaga. Keberhasilan program/kegiatan harus dilihat dari outcome yang tercapai dan output yang terukur secara jelas dengan anggaran sekecil-kecilnya. 
  • Perubahan pola pikir mengenai pentingnya studi kelayakan dan efektifitas penggunaan anggaran, dapat membantu dalam memilih program/kegiatan yang benar-benar memberikan dampak optimal bagi negara.

Demikian adalah beberapa pemikiran yang diharapkan dapat merubah cara pikir dan cara kerja pemerintah Indonesia sebagai bagian Revolusi Mental.

Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang tulisan ini, silakan menghubungi IDeA untuk kesempatan memperoleh konten yang lebih lengkap atau menjadwalkan diskusi terkait topik tersebut. Permintaan konten/diskusi akan ditinjau satu per satu.

Read More
Institut-Deliverologi-Indonesia

Perjalanan Institut Deliverologi Indonesia Menyongsong Perubahan

Pada akhir 2014, sekelompok individu yang dimotori oleh Kuntoro Mangkusubroto yang sebelumnya tergabung dalam Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) memutuskan untuk tetap melanjutkan perjuangan membantu pemerintah Indonesia dalam melakukan transformasi dengan membentuk Yayasan bernama Institut Deliverologi Indonesia (IDeA). Secara resmi, yayasan IDeA didirikan pada tanggal 14 Februari 2015 dan dibentuk sebagai lembaga independen yang berfokus pada pengembangan analisis, sistem, dan rekomendasi yang mengedepankan keterlibatan masyarakat. IDeA juga bertujuan untuk membantu pemerintah dalam memastikan program pemerintah dan program masyarakat lainnya dapat secara tepat-efektif terimplementasi bagi sebesar-besar kemaslahatan masyarakat.

Setelah resmi didirikan, IDeA memperkenalkan diri ke publik melalui acara peluncuran buku ‘Deliverologi: Panduan bagi Publik’. Acara yang diselenggarakan pada tanggal 26 Maret 2015 di Jakarta ini dibuka oleh Boediono, Wakil Presiden RI 2009-2014 dan sambutan dari Kuntoro Mangkusubroto sebagai pendiri.

Dalam selang waktu empat tahun, IDeA telah memberikan kontribusi melalui berbagai cara seperti turun langsung menjadi bagian institusi pemerintah, serta melalui pelayanan di luar institusi seperti melalui lokakarya maupun platform kolaborasi.

Dengan maksud di atas, segera setelah Yayasan terbentuk, di bulan Juni 2015, IDeA dengan 13 personil ditugaskan untuk membantu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan fokus ‘Percepatan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan’.

Maret 2016, IDeA mulai bergerak di sektor Kelautan dan Perikanan dengan menurunkan sekelompok individu dengan jam terbang tinggi dengan berbagai latar belakang, seperti kelautan dan perikanan, manajemen konsultan, hukum, teknologi, bisnis proses, manajemen perubahan dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan di sektor kelautan dan perikanan. Salah satu program utama yang menjadi fokus adalah Satu Data. Satu Data bertujuan menyediakan One Version of Truth karena data merupakan fondasi dalam membuat kebijakan, bahan dasar menentukan program, serta berguna untuk memonitor keberhasilan dan ketidakberhasilan program.

Sejak Mei 2017, IDeA memulai upaya menggalang berbagai pemangku kepentingan seperti organisasi dan instansi yang berkecimpung dalam sektor kelautan dan perikanan untuk bergabung dalam platform kolaborasi untuk membuat cetak biru perjalanan kelautan dan perikanan berkesinambungan. Platform kolaborasi tersebut bernama Inisiatif Kelestarian Kelautan dan perikAnan Nusantara (IKKAN).

Cetak biru tersebut kemudian dilanjutkan menjadi cikal bakal insiatif dalam Low Cabon Development Initiatives (LCDI) sektor perikanan yang diharapkan menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 yang pada saat buku ini ditulis sedang disusun
oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dalam melaksanakan tugas di berbagai Kementerian dan Lembaga, IDeA selalu menggunakan asas integritas, inovasi, ketercapaian, pemberdayaan, dan sikap hormat. Semoga semua perjuangan yang telah disumbangkan dapat bermanfaat bagi semua.

Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang tulisan ini, silakan menghubungi IDeA untuk kesempatan memperoleh konten yang lebih lengkap atau menjadwalkan diskusi terkait topik tersebut. Permintaan konten/diskusi akan ditinjau satu per satu.

Read More
LCDI

Low Carbon Development Initiatives in Fisheries

The historical event of 2018 World Bank-IMF Annual Meeting that took place in Nusa Dua, Bali set a limelight for Indonesia ambitious plan to shift from unsustainable economic practice toward a greener economy. At that moment, Indonesia unveiled the Low Carbon Development Initiative (LCDI), a grand design development plan that emphasizes the transition toward low carbon development path to accelerate Indonesia commitment to reduce the country’s carbon emission as mandated by Paris Agreement 2015. Currently ranked fifth as global carbon emitters, Indonesia is still struggling to meet its development objectives without necessarily affecting environmental quality. The LCDI serves as a backbone for the formulation of Indonesia Five Year National Medium-Term Development Plan starting from 2020-2024. Meaning, it allows Indonesia development plan to be formulated on a more sustainable basis to meet Indonesia developmental objectives nationwide starting from 2020 onwards. It also shows that socio economic and environmental objectives can also go hand in hand to yield positive results.

Institut Deliverologi Indonesia (IDeA) has been closely working together with Indonesia Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (Bappenas) to develop report titled Low Carbon Development Initiatives in Fisheries. This report provides the steps and the insights on how Indonesia can achieve the transition toward low carbon development path in marine and fisheries sector, one of the key sectors discussed in LCDI. Marine and fisheries sector plays key role for a maritime country like Indonesia from social, economic, and environmental point of views. This sector is one of the country’s economic generators that provides source of living particularly for coastal communities while also plays significant contribution in carbon sequestration process. Therefore, it is important for Indonesia to build a strong foundation to manage its marine and fisheries sustainably to ensure the socio-economic prosperity of current and the future generations.

Low Carbon Development Initiatives in Fisheries identifies the current landscape of Indonesia marine and fisheries sector including the current challenges in three main subsectors such as capture fisheries, aquaculture, and fish processing. Additionally, it recognizes the linkage with relevant Sustainable Development Goals (SDG’s) and the regulation issues that becomes the constraint to improve marine and fisheries management. Also, through the series of the proposed initiatives, regulation recommendations, investment modalities, investment needs and gaps, fund mobilization, and the role of the stakeholders, ultimately, this report serves as a guideline at practical level to inform the future actions toward the improvement of sustainable marine and fisheries management.

Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang tulisan ini, silakan menghubungi IDeA untuk kesempatan memperoleh konten yang lebih lengkap atau menjadwalkan diskusi terkait topik tersebut. Permintaan konten/diskusi akan ditinjau satu per satu.

Read More
Peta-Indonesia

Going beyond tolerance: Accepting diversity

Growing up Muslim in Indonesia is a privilege. It is not hard to live as a member of the majority, and this can lead us to have a narrowed worldview, usually at the expense of minorities.

Are Muslims and Javanese the majority in Indonesia? Probably. What about Chinese and Christians? Probably the minority. Shiites or Ahmadi? Probably marginalized.

With privilege comes a responsibility to speak up for fairness, against injustice.

Read More
Corporate-Criminal-Liability

Corporate Criminal Liability: Tantangan dan Peluang Bagi Pelaku Bisnis

Korporasi sebagai entitas atau subyek hukum, pada satu sisi, kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional diakui cukup besar. Pada sisi lain, tidak sedikit korporasi melakukan tindak-tindak pidana (corporate crime) yang dampak kerugiannya terhadap negara dan masyarakat juga besar. Saat ini penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi nakal masih menemui kendala-kendala hukum. Jikapun ada yang terjerat, itu lebih karena faktor keberanian jaksa dan hakim dalam melakukan terobosan.

Read More
Perkebunan-Teh-Tanah-Bukit

Lawan Pelecehan Negara dengan Kebijakan Satu Peta

Penyanderaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah pelecehan negara yang merendahkan wibawa negara. Adalah wajar jika Menteri Siti Nurbaya marah dan memprioritaskan penyelidikan atas PT APSL sebagai terduga pemrakarsa penyanderaan atas hal-hal perambahan kawasan hutan, pembakaran lahan dan penyanderaan aparat negara.

  • 1
  • 2