Selasa 30 September menandai hari terakhir bagi Indonesia sebagai ketua gerakan Open Government Partnership (OGP). Peran tersebut akan dialihkan kepada Meksiko mulai tanggal 1 Oktober. Sebagian dari kita berada di New York bersama-sama pada hari Rabu lalu untuk merayakan ulang tahun OGP yang ketiga, yang telah berkembang dari semula diikuti oleh 8 negara hingga bertambah menjadi 65 negara.
Tahun ini saja, Tunisia, Perancis, dan Bosnia Herzegovina resmi telah bergabung dengan OGP. Pada acara tersebut, kami juga meluncurkan strategi OGP empat tahunan untuk memastikan bahwa gerakan kita memberikan dampak yang nyata bagi warga masyarakat.
Pada 19 September 2006, saya mulai bekerja sebagai Direktur Eksekutif Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), lembaga pemerintah kita yang bertanggung jawab untuk rekonstruksi Tsunami Indian-Ocean di provinsi Aceh, daerah yang paling parah terkena bencana 26 Desember 2004. Sore itu, setelah hari protes, lebih dari 2.000 pria, wanita, dan anak-anak yang masih tinggal di barak, berbaris ke halaman kami, menuntut hak untuk menerima hibah dan mengatur sendiri program rehabilitasi perumahan.
Saya beserta tim bertemu dengan para pemimpin protes selama berjam-jam. Kami bekerja dengan polisi setempat untuk mengamankan demonstrasi dan menghindari kekerasan. Tetapi para pemimpin tersebut tidak berminat untuk bernegosiasi.
Keesokan paginya, demonstrasi mulai pecah. Massa melempari petugas polisi dan sejumlah orang terluka, termasuk seorang petugas polisi.
Setelah protes saya kembali ke tim saya untuk mendorong mereka agar lebih meningkatkan kinerja dalam pembangunan perumahan dan dalam memberikan mata pencaharian alternatif bagi mereka yang masih berjuang untuk bangkit kembali setelah tsunami. Dalam empat tahun, kami berhasil membangun lebih dari 140.000 rumah permanen.
Tujuan dari demonstrasi pada umumnya adalahsalah satu usaha masyarakat agar memiliki suara yang nyata dalam kebijakan pemerintah tetapi hal tersebut masih relatif baru di Indonesia, di mana demokrasi tiba-tiba diperkenalkan hanya dalam kurun waktu kurang dari dua dekade yang lalu, dan sekarang negara Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan 240 juta masyarakat.
Pemerintahan yang terbuka tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya kerja keras semua pihak dari dalam pemerintahan maupun pihak dari luar pemerintahan.
Hari ini, kita melihat negara-negara di mana orang menuntut lebih kepada pemerintah mereka. Apa yang kita lihat dari Skotlandia, Catalonia, Mesir, dan Hong Kong hanyalah sebuah contoh. Kita tidak bisa menganggap begitu saja bahwa pemerintah ada untuk kepentingan rakyatnya. Tantangan berikutnya bagi demokrasi termasuk tantangan berikutnya bagi kami adalah bagaimana mengisi demokrasi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Bagaimana caranya kita menempatkan alat dan mekanisme pembuat kebijakan yang akan memberikan alternatif bagi masyarakat untuk turun ke jalan agar bisa menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah? Ini adalah kekosongan yang dapat diisi oleh pekerjaan kami di pemerintahan yang terbuka.
Kemitraan kami dapat membantu memastikan pemberian layanan yang lebih baik serta memiliki kebijakan yang lebih bertarget dan memastikan bahwa orang-orang dapat berpartisipasi secara efektif dalam pemerintahan mereka secara aman dan tentram.
Bagi saya, pemerintahan yang terbuka adalah tentang bagaimana meningkatkan proses pembuatan kebijakan. Pertanyaan yang perlu kita bahas adalah tentang bagaimana caranya agar kita dapat memenuhi kebutuhan orang-orang. Hal tersebut membutuhkan lebih dari sekedar komitmen dan dukungan untuk data yang transparan, anggaran yang transparan, atau akses untuk mendapatkan informasi.
Pertama, hal tersebut akan membutuhkan kerendahan hati dan kesediaan untuk mendengarkan orang-orang. Anda berada di sini karena Anda percaya reformasi dapat membantu meningkatkan cara anda memberikan pelayanan kepada warga di negara Anda.
Untuk membangun kepercayaan masyarakat dalam pemerintahan terbuka, kita harus menunjukkan bahwa kita bersedia untuk mendengarkan mereka. Artinya kita harus secara aktif melibatkan mereka dan menempatkan mereka di pusat agenda pembangunan kita.
Kedua, kita harus meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap data dan tingkat penggunaan data. Di Indonesia, data benar-benar dirahasiakan dari masyarakat karena data adalah kekuatan. Data berarti uang.
Ketika banyak instansi pemerintah yang mengambil inisiatif kebijakan transparansi data sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi mereka, kita harus mengakui bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap data dan tingkat penggunaan data masih sangat buruk.
Jika kita ingin agar masyarakat dapat mengakses data, jika kita ingin data yang transparan menjadi alat akuntabilitas yang lebih baik, kita membutuhkan masyarakatyang lebih terdidik. Untuk tujuan tersebut, kita perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap data dan ketersediaan data yang mumpuni. Jangan lupa pula bahwa teman-teman kita yaituwarga masyarakat memerlukan dukungan agar kesadaran mereka ketika menjadi masyarakat yang baru dapat meningkat seiring dengan aksesibilitas data yang lebih luas.
Terakhir, kita harus mendukung reformasi di semua tingkatan. Pemerintahan yang terbuka tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya kerja keras semua pihak dari dalam pemerintahan maupun pihak dari luar pemerintahan yang percaya terhadap perubahan yang lebih baik.
Tetapi mereka ditantang oleh raksasa birokrasi yang ingin mempertahankan status quo.
Kita harus bersatu, bertukar pikiran dan menggalang dukungan untuk reformasi di tingkat nasional dan sub-nasional yang bekerja tanpa lelah untuk mengambil langkah-langkah konkrit dalam mempromosikan transparansi, memerangi korupsi dan memanfaatkan teknologi baru untuk memperkuat demokrasi. Itu semua adalah apa yang selama ini OGP lakukan, yaitu untuk membuat jaringan reformasi karena kita tidak bisa berinovasi sendiri.
Jaringan para pembuat perubahankami akan membantu menciptakan pulau-pulau kecil yang efektif dan akuntabilitas yang akan mendorong kemajuan di dalam pasang surutnya pemerintahan terbuka.
Indonesia mendapat kehormatan untuk menjadi wakil pimpinan dari inisiatif baru yaitu OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), sebuah Jaringan Pemerintahan Terbuka dan Inovatif di Asia Tenggara serta sebuah upaya kolaboratif untuk mempromosikan kebijakan pemerintah yang terbuka dan memperkuat gerakan pemerintah terbuka di Asia Tenggara.
Setelah menghabiskan waktu empat tahun di Aceh sekaligus secara langsung melihat protes yang tak terhitung jumlahnya, kritik terhadap pengelolaan dan pendanaan perumahan serta kecepatan proses pemulihan, hal yang justru luar biasa terlontar dari salah satu deputi saya yang mengatakan, “Kita harus berterima kasih kepada mereka untuk setiap demonstrasi, kritik, ejekan, atau bahkan sabotase yang ditujukan terhadap BRR”.
“Kenapa begitu? Karena hal-hal itulah yang mendorong para personel BRR bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan kinerjanya.”
Dilansir dari The Jakarta Post